OPINI: Belajar dari tragedi Minamata

Kompas, August 31, 2004.

Tragedi Minamata dan tragedi lainnya menggeser perilaku Jepang atas lingkungan. Perubahan tersebut ditandai dengan kelahiran kosakata baru, "kogai", yang berarti penghancuran domain publik (Jun Ui, 1992).

Meskipun kasus Minamata berhasil dimenangi oleh warga, banyak yang menyesali bahwa andai direspons lebih cepat, kasus ini bisa saja menjadi sentra krusial yang menjadi titik pusat perubahan ekonomi politik Jepang yang membentuk perilaku terhadap lingkungan yang lebih baik di masa yang akan datang.
  
Seandainya hal ini tercapai, Jepang tidak perlu menghadapi tragedi-tragedi lingkungan lainnya (penyakit itai-itai, asma Yokkaichi, dan lain-lain) yang memukul sedemikian kuat.

Haruskah kejadian setragis Minamata terjadi dulu di Indonesia sebelum kita semua menyadari apa artinya lingkungan bagi kehidupan kita?

Perdebatan tereduksi pada apakah warga Buyat menderita Minamata atau bukan. Apa pun jawabannya, fakta menunjukkan bahwa faktor lingkungan sama sekali tidak mendapatkan tempat yang layak.

Jika dulu, akselerasi ekonomi Orde Baru dijadikan alasan, saat ini, krisis ekonomi dan reformasi politik menjadi justifikasi baru. Terlepas dari jargon pembangunan berkesinambungan di Indonesia serta laporan yang berbunga-bunga di KTT Dunia, isu lingkungan masih inferior dibandingkan dengan isu ekonomi/investasi ataupun isu politik dalam formulasi kebijakan. Praktik korupsi pun memperparah keadaan.

Apa pun penyakitnya, masyarakat Buyat sudah sakit. Sangat sakit. Tetapi terus saja izin untuk investor menjadi lebih penting ketimbang pantai, laut, tanah dan sungai yang terkontaminasi limbah; atau hutan yang semakin gundul oleh api, tangan dan mesin; dan manusia-manusia yang hidup di sana. Seiring berlalunya waktu, selalu saja kelompok masyarakat yang paling lemah yang paling dulu dan paling berat dirugikan. Dalam hal Buyat, nelayan dan keluargalah yang paling menderita.

Kasus Buyat sebenarnya merupakan tantangan demokratisasi yang dimensinya melampaui hura-hura pemilu presiden. Tapi, tentu saja, Buyat kalah pamor. Saat ini aktor-aktor utama sedang menjalankan upaya masing-masing dan masih belum bisa diketahui apakah Buyat bisa menjadi preseden yang kuat untuk penanganan kasus yang multidimensional ini. Jika direspons dengan benar, berarti masih ada harapan untuk pembangunan yang berkesinambungan dan demokratisasi dalam arti yang sebenarnya.

Kesimpangsiuran berita Buyat, rumor-rumor-mulai dari Newmont membayar suap untuk membungkam sebagian pejabat dan masyarakat lokal, pemerintah yang membela investor ketimbang warga, LSM yang mem-blow up kasus ini untuk memeras Newmont¨C-berpotensi membelokkan esensi dari permasalahan dan mendiskreditkan upaya-upaya yang dilakukan untuk memperjuangkan hak asasi warga Buyat dan masa depan lingkungan dan kesejahteraan Indonesia.

***
Media massa berperan krusial. Di Jepang, ia berdiri di garda terdepan dalam memfokuskan perhatian nasional terhadap problem lingkungan yang multidimensional dan membentuk opini publik yang tercerahkan. Selain menjaga kredibilitas pemberitaan demi menangkal rumor, upaya strategis lainnya adalah gencarnya memperlihatkan konektivitas aspek lingkungan dengan aspek ekonomi, sosial-budaya dan politik, dan konektivitas lingkup lokal dengan lingkup nasional.

Dengan mengandalkan kontinuitas pemberitaan dan alur komunikasi yang multi-arah, media terus mengentak kesadaran masyarakat bahwa perusakan lingkungan adalah perusakan multidimensional dan lintas-batas teritorial. Kerja sama strategis antara para korban, LSM yang membantu dan media tidak terjadi semalam saja.

Di Jepang, hal tersebut baru terbangun di akhir tahun 1960-an. Stamina untuk menjaga keberlangsungan strategi tersebut pun berat. Semoga saja media massa Indonesia mampu bertahan.

Kontribusi beberapa LSM dalam membantu masyarakat Buyat pun patut mendapatkan acungan jempol. Tetapi dukungan yang lebih meluas masih sangat diperlukan. LBH Kesehatan menjadi pendamping korban Buyat yang mengajukan tuntutan ke-3 kementerian dihadapi dengan tantangan mempertahankan kredibilitas dan ketersediaan sumber daya.

Beberapa LSM lain berupaya memperluas jaringan mereka ke luar negeri dan berhasil mendapatkan respons, antara lain dari Minamata Institute di Jepang yang membantu dalam melakukan tes dan Global Response di AS dalam memberikan tekanan kepada Newmont pusat. Beberapa gerakan perempuan tampaknya mulai mengantisipasi kasus ini dan mencoba membawanya keluar dari sekadar isu lingkungan melalui advokasi korban perempuan dan anak-anak. Bisakah jaringan tersebut bertahan?

Lelucon terbesar adalah saat Menteri Lingkungan Hidup menolak memakan ikan yang dihidangkan ke hadapan beliau saat mempromosikan gerakan makan ikan di Sulawesi. Terlintas film Erin Brokowich (film tentang perjuangan seorang perempuan dalam kasus pencemaran di AS).

Ada sebuah adegan di mana para pengacara korporasi sedang berusaha menegosiasikan harga damai untuk membungkam para korban dengan Erin. Mungkin ekspresi pengacara tersebut saat diberitahukan oleh Erin bahwa minuman yang ia minum datang dari tempat yang tercemar serupa dengan ekspresi Bapak Menteri saat disuguhi ikan yang bentol-bentol?

AS sudah menolak 200 juta ton ikan dari Sulawesi. Di Jakarta, banyak ibu-ibu yang berpikir lima kali sebelum beli ikan. Hanya sejauh itukah masyarakat Indonesia akan bereaksi? Dengan tidak makan ikan? Bisakah ke-3 kementerian yang dituntut keluar dari sikap defensifnya dan menaruh energinya untuk kepentingan masyarakat?

Bisakah Polri dan pengadilan bersikap profesional dalam menangani tuntutan masyarakat ini? Bisakah Newmont menjalankan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat setempat? Bisakah semuanya bekerja sama untuk menyelesaikan permasalahan ini tanpa mengorbankan masyarakat lagi?

***
Buyat bukanlah satu-satunya permasalahan multidimensional yang bernuansa lingkungan yang diderita oleh Indonesia. Bisa jadi penyelesaian kasus lingkungan lain bergantung pada sejauh mana Buyat bisa diselesaikan.

Sebagai refleksi tambahan ke depan, desentralisasi membawa tantangan dan kesempatan yang besar bagi proses perusakan/perbaikan lingkungan di Indonesia. Kewenangan pemerintah daerah untuk pengolahan lingkungan jangan sampai terpaku pada upaya menghasilkan uang bagi kas pemda terutama dengan gencarnya persaingan ekonomi global dalam menarik investor.

Sering kali tragedi pencemaran bermula dengan mesranya hubungan investor baru dengan pemerintah dan masyarakat lokal yang tergiur oleh keuntungan materi tanpa menyadari akan dampaknya terhadap lingkungan.

Jika kasus Buyat hanya diperlakukan sebagai kasus lokal seputar isu lingkungan saja, berarti sekali lagi kita membodohi diri sendiri dan menggali kubur yang lebih dalam bagi Indonesia. Jika kasus Buyat dan kasus-kasus lingkungan lainnya terus saja disepelekan, sangatlah tidak pantas bagi kita untuk berbangga diri dengan "keberhasilan" Pemilu 2004.

Lancangnya kita karena berpretensi bahwa pesta demokrasi telah sukses saat suara pemilih sudah dihitung, sementara rintihan suara korban di Buyat, Tembaga Pura, Rampa, Teluk Jakarta dan di lokasi-lokasi tercemar lainnya hilang terbawa angin yang penuh polusi.

 Benjolan pada ikan di Teluk Buyat.
Foto: Radja Siregar, Mei 2003 - WALHI.

Komentar

Terpopuler 热搜

15 Tahun Menunda, Tapi Tidak Lupa (Mei 1998)

OPINION: 18 Years Ago Today: May 1998 and to Never Forget

OPINION: (Anti) Corruption in China’s Belt and Road Initiative