OPINI: Partisipasi Politik Tionghoa dan Demokrasi

Kompas, Opini - 20 September 2004.

JIKA selama Pemilu 1999, komunitas Tionghoa tampak malu-malu dan agak canggung dalam berpolitik, dalam Pemilu 2004, partisipasi politik komunitas Tionghoa terlihat semakin dinamis dan asertif. Bagaimana membaca dinamika itu secara kritis?

"Binatang ekonomi" dan "apolitis" adalah dua stigma populer yang berurat-akar bagi orang Tionghoa. Persepsi mayoritas elite politik Indonesia tampaknya masih berkutat di situ karena menilai partisipasi Tionghoa sebatas keuntungan ekonomis.

Persepsi ini adalah buah dari asumsi tidak mendasar bahwa komunitas Tionghoa yang hanya 2 persen dari populasi menguasai 70 persen perekonomian nasional. Citra kekuatan ekonomi komunitas Tionghoa memang sudah ada sejauh sejarah kolonial. Tetapi label 2 persen dan 70 persen menjadi hingar-bingar di akhir tahun 1990 an seiring krisis ekonomi Asia, dikarenakan tendensi bombastis sejumlah jurnalis masa lalu yang salah mengutip penelitian Michael Backman (1995) tentang kapitalisasi pasar dari 300 konglomerat Indo- nesia. Backman menemukan 73 persen total kapitalisasi pasar dimiliki oleh etnis Tionghoa.

Tapi kapitalisasi pasar bukan perekonomian nasional. Kapitalisasi pasar tidak mengikutsertakan BUMN, perusahaan asing dan multinasional, serta aspek lainnya yang berkontribusi lebih besar untuk perhitungan perekonomian nasional (Aditjondro, 2000). Tapi apa daya, meskipun sampai saat ini tak ada penelitian dengan pembuktian seputar penguasaan ekonomi Indonesia oleh etnis manapun, hingar-bingar sudah dikumandangkan, stigma sudah melekat yang kemudian mengklimaks secara tragis di Mei 1998.

Sebagian masyarakat, terutama elit politik, nampaknya masih nyaman dengan stigma 2 persen dan 70 persen tersebut. Akibatnya, menjelang Pemilu 2004, elit politik hanya bisa mengapresiasi partisipasi politik komunitas Tionghoa sebatas "partisipasi celengan". Dan yang lebih menyedihkan, sebagian kalangan Tionghoa sendiri pun nyaman dengan partisipasi celengan tersebut. Mengapa tidak mengapresiasi partisipasi komunitas Tionghoa dengan kacamata lain?

Dinamika Pemilu 2004

Publikasi media sepanjang pemilu leegislatif dan pilpres 2004 mencatat beberapa perkembangan. Selama pemilu legislatif, sejumlah media mencatat setidaknya 150 caleg Tionghoa, meskipun pada akhirnya hanya sebagian kecil yang berhasil mendapatkan kursi. Di pelbagai daerah muncul berbagai kreasi partisipasi politik yang dulu terasa minim sekali, mulai dari peningkatan keanggotaan partai politik, inisiatif debat/diskusi politik oleh asosiasi Tionghoa, kampanye partai politik, sampai sosialisasi proses pemilu.

Selama kampanye pilpres, terlihat kemunculan pelbagai representasi masyarakat Tionghoa baik untuk bersilaturahmi kepada Presiden Megawati maupun SBY. Tim sukses capres pun bergerak dengan dinamika yang berbeda, tetapi relatif lebih asertif ketimbang masa-masa Pemilu sebelumnya. Penyelenggaraan diskusi publik pun meningkat intensitasnya.

Kuantitas vis-a-vis kualitas

Peningkatan kuantitas bisa dirasakan, tetapi masih banyak pembenahan kualitas yang harus dilakukan. Refleksi dari sejumlah kegiatan, di mana kader-kader politik Tionghoa berkesempatan untuk unjuk gigi, mengilustrasikan beberapa hal.

Pertama, komunitas Tionghoa adalah plural. Kemunculan pelbagai representasi masyarakat Tionghoa dalam forum silaturahmi bersama elit politik terkadang mengimplikasikan ilusi sebagian kalangan Tionghoa dan mispersepsi sebagian kalangan elit bahwa keseluruhan komunitas Tionghoa berada di bawah satu suara.

Satu contoh adalah kehadiran Presiden Megawati dan Hasyim Muzadi dalam peringatan tragedi Mei 1998 di Candranaya bulan Mei lalu yang diadakan oleh Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI). PARTI mengangkat isu rekonsiliasi, ajakan melupakan kepahitan tragedi Mei 1998 dan memulai babak baru. Jika tim sukses Mega-Hasyim berasumsi bahwa acara tersebut cukup representatif dan kehadiran mereka bisa menarik simpati komunitas Tionghoa, jelas mereka tidak mengerti situasi. Terbukti, acara yang sarat simbolisme politik tersebut malah mengundang reaksi keras dari kalangan komunitas Tionghoa yang tidak menerima PARTI dan tidak ingin melupakan sebelum ada proses pengadilan.

Kedua, tema "anti diskriminasi" masih sangat dominan (isu SBKRI, Jusuf Kalla dan affirmative action). Hampir setiap kegiatan silaturahmi dengan elit politik, agenda anti diskriminasi selalu ada. Sayangnya, tuntutan anti diskriminasi Tionghoa seringkali tidak dikaitkan secara riil dengan perjuangan anti diskriminasi arus-utama. Jargon "menjunjung HA" dan "kesederajatan di hadapan hukum" memang sering terlontar dalam untaian kata, tetapi ternyata masih sangat sedikit penetrasi pergerakan Tionghoa di pergerakan HAM arus-utama.

Ini entah karena sebagian kader politik Tionghoa masih gagap dalam mengartikulasikan diskursus politik arus-utama atau masih "kuper" (kurang pergaulan) atau memang mentalitas politik yang sempit. Kegagapan bisa dikikis dengan menambah jam terbang berpolitik, ke-kuper-an dengan peningkatan lingkup dan intensitas sosialisasi. Namun jika mentalitas yang menjadi masalah, maka tak ada kualitas dalam partisipasi politik Tionghoa.

Kecaman keras aktivis HAM korban Mei 1998 dari komunitas lain setelah peringatan tragedi Mei yang diadakan PARTI merupakan contoh ramifikasi adanya jeda antara diskursus politik Tionghoa dengan arus-utama. Kegiatan simbolik PARTI yang menyatakan "memaafkan dan melupakan" tanpa berdialog dengan advokat korban Mei lainnya dipandang tidak sensitif dan melecehkan pergerakan korban Mei 1998. Hal ini memverifikasi diskoneksi antara agenda anti-diskriminasi PARTI dengan aktivis lainnya. Jika jeda ini tidak segera dijembatani, perjuangan anti-diskriminasi Tionghoa tidak akan mencapai apa- apa dan gerakan HAM Indonesia pun kehilangan pendukung potensial.

Ketiga, partisipasi generasi muda dalam politik, terutama perempuan, sangat minim. Dalam kebanyakan praktik berorganisasi, konsep dan implementasi agenda regenerasi hampir tidak berjalan secara demokratis, terutama perihal rekrutmen dan pendidikan politik. Hierarki yang "dituakan" dan budaya patriarkal yang masih kuat lebih sering menghambat regenerasi dan pemberdayaan perempuan Tionghoa. Ironis memang, minoritas mendiskriminasi "minoritas dalam minoritas"..

Demokratisasi

Bagi mereka yang merasa partisipasi politik Tionghoa tidak penting karena populasinya sedikit, mereka melupakan bahwa jumlah mungkin memiliki makna cukup besar bagi perhitungan suara pemilu, te- tapi kecil bagi proses demokratisasi secara komprehensif. Demokrasi bukan monopoli mayoritas. Partisipasi politik minoritas yang demokratis justru bisa memberikan kontribusi pembelajaran yang menarik dalam proses demokratisasi.

Seiring desentralisasi dan peningkatan signifikansi politik lokal, partisipasi politik komunitas Tionghoa di daerah dengan distribusi komunitas Tionghoa yang cukup besar bisa menjadi studi kasus yang menarik. Tantangan terbesar adalah sejauh mana kader politik Tionghoa bisa secara lintas etnis menyerap aspirasi lokal dan turut serta dalam proses problem-solving di lingkungan mereka melalui jalur politik lokal (partai politik, DPR-D, DPD, maupun LSM).

Terlepas dari kekurangan yang ada, perkembangan hingga Pemilu 2004 cukup melentingkan harapan. Hari ini, mayoritas komunitas Tionghoa akan memilih kandidat yang menjamin tidak ada (atau lebih sedikit) diskriminasi dan stabilitas ekonomi. Agak sempit, memang, tetapi bisa dimengerti mengingat rekonstruksi mindset apolitis selama tiga dekade Orde Baru. Namun, setelah lebih dari enam tahun reformasi, argumen tersebut lama-lama akan basi. Nantinya, komunitas Tionghoa tidak lagi bisa bersembunyi di balik argumen tersebut.

Roda demokratisasi Indonesia sedang berputar. Pilihan harus dibuat dan tindakan harus diambil untuk memaknai eksistensi Tionghoa di Indonesia.

Komentar

Terpopuler 热搜

15 Tahun Menunda, Tapi Tidak Lupa (Mei 1998)

OPINION: 18 Years Ago Today: May 1998 and to Never Forget

OPINION: (Anti) Corruption in China’s Belt and Road Initiative