Selamat Jalan, Eyang Habibie

Catatan pribadi seorang perempuan Tionghoa tentang peran Presiden BJ Habibie dalam 
perjuangan melawan diskriminasi Tionghoa di Indonesia.

Pada bulan September 2013, Presiden RI ke-tiga BJ Habibie melakukan kunjungan ke Tiongkok dalam rangka peluncuran buku “Habibie dan Ainun” edisi Bahasa Mandarin, didampingi oleh salah satunya, kembaran saya, Ima Abdulrahim, Direktur Eksekutif The Habibie Centre saat itu. Setiba di Beijing, Ima menghubungi saya yang saat itu masih wara-wiri di sana untuk lepas kangen dan cari waktu jalan-jalan. Saat itu pula, Ima mempertemukan saya dengan beliau.

Agak deg-degan juga awalnya karena di kepala saya begitu banyak pertanyaan mengenai seperti apa sebenarnya beliau ini, Di sejumlah kalangan Tionghoa, sejak lama ada kekhawatiran mengenai apakah seorang BJ Habibie itu “anti-Cina” atau tidak. Berbagai rumor pernah saya dengar sejak lama. Tambahan lagi cerita-cerita dan rumor-rumor soal “seteru” CSIS dan ICMI yang tak jarang dibalur nuansa persoalan politik identitas dan teori konspirasi.

Sebagai protégé Suharto saat itu dan di tengah semakin menyengatnya sentimen anti Cina yang meledak pada Tragedi Mei 1998 hingga lengsernya Suharto, banyak yang skeptis, jika tidak sinis, melihat BJ Habibie dilantik menjadi Presiden ke-tiga republik yang tengah kacau balau.

Bahkan setelah pembentukan kabinet, Gus Dur dalam acara “Aneka Dialog” RCTI mencetus bahwa jangan harap para pengusaha Tionghoa yang lari setelah kerusuhan akan kembali, karena ada lima Menteri yang anti Cina di dalamnya. Pernyataan Gus Dur itu sebenarnya juga merupakan kegelisahan yang bersliweran di kepala tidak sedikit masyarakat Tionghoa yang masih gemetar secara fisik dan mental.

Setelah dilantik, BJ Habibie mengambil sejumlah langkah yang sangat diapresiasi oleh masyarakat Tionghoa. Bisa dikatakan beliaulah yang menggulirkan gelombang pertama pelucutan peraturan diskriminatif terhadap Tionghoa.

Beliau mengeluarkan Instruksi Presiden RI No. 26/1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi, dalam upaya mengakhiri polemik rasisme yang identik dengan pengakuan posisi Tionghoa sebagai WNI.

Kemudian saat melihat macetnya pelaksanaan aturan sebelumnya untuk menghapus semua produk hukum yang mewajibkan pelampiran Surat Bukti Kewarganegaraan RI (SBKRI) – salah satu momok terbesar dalam diskriminasi Tionghoa, BJ Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden No. 4/1999 yang menegaskan kembali tidak berlakunya SBKRI bagi etnis Tionghoa yang sudah menjadi WNI. Selain itu, diinstruksikan pula peninjauan kembali aturan yang melarang atau membatasi penggunaan Bahasa Mandarin.

Langkah ksatria lain yang beliau ambil adalah mengakui kejadian kasus perkosaan dan penyerangan seksual yang bersifat sistematis terhadap perempuan Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998. Beliau bahkan mewakili Indonesia mengutuk dan meminta maaf, sementara politisi-politisi lain masih menyebut kasus perkosaan itu sebagai hal fiktif. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kerusuhan Mei 1998 dibentuk dan juga kemudian Komnas Perempuan.

Hingga saat itu pun tidak sedikit yang masih skeptis, seperti Leo Suryadinata dalam tulisannya tentang perubahan kebijakan negara terhadap Tionghoa pernah menulis bahwa BJ Habibie “terpaksa membuat dunia politik Indonesia menjadi lebih demokratis sesuai dengan tuntutan Reformasi.”

Terlepas dari itu, langkah yang diambil BJ Habibie saat itu sangat penting dan memulai jalan panjang pelucutan aturan-aturan diskriminatif anti Tionghoa oleh presiden-presiden berikutnya.

Karena pemahaman seperti di atas itulah, saya merasa agak gugup sewaktu diajak Ima menemui tokoh besar seperti beliau. Kehadiran dan antusiasme Ima membuat saya lebih tenang karena saya percaya penuh pada Ima.

Rasa gugup itu segera mencair saat akhirnya bertatap muka dengan beliau. Dengan hangat dan jenaka, beliau mengajak saya berbincang mengenai banyak hal – mulai dari cinta sejatinya Ibu Ainun, bagaimana bukunya “Habibie & Ainun” adalah upayanya untuk berusaha tidak runtuh dalam kesedihan sejak kepergian Ibu Ainun, perkembangan Tiongkok terutama dalam sektor teknologi dan rencana saya ke depan.

“Panggil Eyang ya. Harus panggil Eyang,“ kata beliau saat saya memanggil beliau “Bapak“.

Sepanjang perjalanan di Beijing, saya berkesempatan untuk ikut dalam setiap kunjungan beliau ke Tsinghua University, China Islamic Association, dan peluncuran buku bersama dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing. 

Banyak aspek-aspek yang beliau angkat dalam pertemuan-pertemuan tersebut yang meyakinkan saya bahwa beliau cukup antusias dan genuine dalam melihat pentingnya Indonesia untuk terus membangun hubungan dengan Tiongkok, terutama dalam hal penguatan kapasitas sumber daya manusia dan kemajuan pengetahuan dan teknologi. Sebenarnya saya diajak ikut untuk kunjungan ke Shanghai juga, sayangnya paspor saya sedang di imigrasi untuk perpanjangan visa.

Pertemuan berikutnya terjadi beberapa tahun kemudian, di kediaman beliau di Patra Kuningan, dan dengan kehangatan yang sama, beliau mengajak melihat perpustakaan pribadi beliau yang desainnya dibuat oleh Ibu Ainun sendiri, termasuk karya-karya seni yang terpajang di sana juga merupakan favorit Ibu Ainun. Luar biasa perpustakaan itu – indah, hangat dan inspirasional. Ima setengah bercanda mencolek saya, “Tempat bagus nih buat nulis disertasi lo!” Beliau langsung memegang lengan saya, “Ya, bisa! Kamu bisa bekerja di sini menulis disertasi kamu. Any time! Kapan saja! Bilang saja!” Saya cuma cengengesan saja waktu itu sambil mengucapkan terima kasih.

Tidak banyak lagi kesempatan berbincang dengan beliau setelah dua pertemuan sebelumnya yang begitu membekas di hati saya itu.

Indonesia kehilangan seorang tokoh yang berjasa besar.
Kita semua kehilangan.

Terima kasih dan selamat jalan, Eyang Habibie.
Damailah bersama Ibu Ainun di rumah Tuhan selamanya.

(https://web.facebook.com/cataya/posts/10156658479232615)

Komentar

Terpopuler 热搜

15 Tahun Menunda, Tapi Tidak Lupa (Mei 1998)

OPINION: 18 Years Ago Today: May 1998 and to Never Forget

OPINION: (Anti) Corruption in China’s Belt and Road Initiative