KOMPAS: Menjemput Harapan di Victoria Park


”Kali ini aku memilih tidak golput. Harapanku, siapa pun pemimpin yang terpilih bisa membawa perubahan. Tak ada lagi korupsi dan Indonesia makmur. Kalau Indonesia kaya dan banyak lapangan kerja, aku tidak mbabu terus,” kata Hanin saat dihubungi melalui percakapan daring dari Jakarta, Minggu (30/3/2014). 

Untuk pertama kalinya, Hanin Rembong, buruh migran di Hongkong asal Kebumen, Jawa Tengah, Minggu, mengikuti pemilu Indonesia. Hanin mencoblos di Victoria Park, tempat yang selama ini jadi area pertemuan orang Indonesia di Hongkong. Selain Hongkong, pada 30 Maret lalu, juga ada lima wilayah di luar negeri yang menggelar pemilu lebih awal, yaitu Beijing, Shanghai, Santiago (Cile), Kopenhagen, dan Brasil. 

Pada Pemilu 2009, Hanin memilih tak mencoblos karena surat pemberitahuan memilih tak sampai di alamatnya. ”Pemerintah Hongkong baik banget. Mereka membolehkan kami pemilu di sana,” kata Hanin yang pagi-pagi sekali sudah berangkat ke Victoria Park. 

Hal serupa dilakukan banyak buruh migran lain dari Indonesia. Akibatnya, meski 13 tempat pemungutan suara (TPS) di tempat itu baru dibuka pukul 09.00, antrean sudah mengular sejak pukul 08.30. Seusai mencoblos, Hanin berfoto di Victoria Park, kemudian memasang fotonya di Twitter. Praktis, hari itu ranah media sosial untuk kata kunci ”Victoria Park Hongkong” hanya memunculkan hiruk pikuk pemilu Indonesia di Hongkong. 

Fera Nuraini, buruh migran Indonesia lainnya, juga aktif mengabarkan soal pemilu di Hongkong lewat media sosial. Ia bahkan mencurahkan kekesalannya atas karut-marut daftar pemilih tetap luar negeri (DPTLN). Padahal, ia antusias datang ke TPS. ”Saya ikut nyoblos meski tak terdata dan tak mendapat kiriman undangan atau surat suara via pos. Saya datang ke TPS dengan menunjukkan KTP Hongkong,” kata Fera saat dihubungi, Senin.

Fera sudah 8,5 tahun berada di Hongkong. Pada Pemilu 2009, namanya raib dari DPTLN. Kali ini, demi keinginan ikut menentukan perubahan, Fera dan ribuan orang lainnya ikut antre mendapatkan sisa pencoblosan yang dimulai pukul 15.00 waktu Hongkong. Mereka bermodalkan kartu identitas untuk menjadi pemilih dalam daftar pemilih khusus (DPK) tambahan. 

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah yang memantau langsung pemilu di Hongkong menuturkan, ”Dari sekitar 7.000 orang yang datang ke TPS di Victoria Park, sekitar 4.000 orang tak tercatat, hanya 3000-an orang yang tercatat.” Walau jengkel dengan karut- marut DPTLN, Fera tetap menyatakan senang pada pemilu kali ini. ”Apalagi saat mendengar berbagai macam alasan kawan-kawan ikut mencoblos. Ada yang karena faktor capresnya, ada yang karena sudah kenal dengan calegnya,” katanya. 

Ia berharap KPU meninjau kebijakan pembatasan waktu mencoblos untuk DPK tambahan. Pasalnya, kondisi buruh migran di Hongkong bermacam-macam. Ada yang bisa libur setengah hari, ada juga yang waktu pagi saja. Banyak yang ingin mencoblos, tetapi ditolak karena jam sudah ditentukan sore. 

Ketua Pelaksana Harian Pusat Perhimpunan Pelajar Indonesia Tiongkok Christine Susanna Tjhin mengatakan, antusiasme pelajar untuk ikut pemilu sekarang sangat tinggi. Ia merasakan banyak perubahan yang terjadi di Tanah Air dan itu memunculkan harapan baru. Ini membuat Christine tidak golput pada Pemilu 2014. 

”Muncul tokoh-tokoh muda baru yang inspirasional dengan berbagai latar belakang. Banyak relawan turun tangan. Memang tak semuanya sempurna dan banyak yang masih perlu dibenahi, tapi ini indikasi positif yang membuat saya bersemangat meski di saat yang sama tenun kebangsaan kita ada yang tercabik oleh konflik horizontal dan krisis kebangsaan,” lanjutnya. 

Christine, Fera, dan Hanin dipisahkan oleh jarak, status, dan asal yang berbeda-beda. Namun, dengan pemilu yang menjemput mereka di luar negeri, ia telah mengerek harapan yang begitu tinggi untuk perubahan. Minggu (30/3/2014) setelah pencoblosan di Victoria Park, sekitar pukul 18.00, Fera lewat Twitter melaporkan, hujan deras mengguyur Hongkong. Kemudian, sekitar pukul 20.00, hujan es batu sebesar ibu jari mulai turun. Ia berharap harapan para diaspora Indonesia tak mudah dilupakan dan luntur hanya oleh hujan semalam. (Amir Sodikin) 

Komentar

Terpopuler 热搜

15 Tahun Menunda, Tapi Tidak Lupa (Mei 1998)

OPINION: 18 Years Ago Today: May 1998 and to Never Forget

OPINION: (Anti) Corruption in China’s Belt and Road Initiative