BBC: Pelajar Indonesia di Cina: Kami tidak ditanami paham komunis

Pelajar Indonesia di Cina membantah laporan yang menyebutkan bahwa semua pelajar di negeri itu ditanami ideologi komunis.

Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Tiongkok mengatakan laporan tersebut tidak didasari sumber dan fakta yang akurat.

Seorang pelajar Indonesia mengatakan pendidikan tentang komunisme memang diwajibkan bagi pelajar lokal, tapi tidak bagi pelajar asing. Adapun pelajar asing mempelajarinya hanya sebagai materi akademis.

Laporan yang diterbitkan di situs berita Republika pada hari Minggu (01/04) mengutip Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Sofyan Anif, yang mengaku diundang menteri pendidikan Cina dalam pertemuan rektor di negara tersebut.

Sofyan menceritakan bahwa, menurut salah satu rektor perguruan tinggi di Cina, saat ini pemerintah Cina tengah gencar-gencarnya menanamkan ideologi komunis kepada seluruh pelajar.

"Artinya apa, artinya siswa yang berasal dari Indonesia pun itu juga pasti mendapatkan pelajaran yang terkait ideologi komunis," kata Sofyan, seperti dikutip Republika.

Laporan ini lantas diprotes pengurus Nahdatul Ulama cabang Tiongkok, yang mengatakan bahwa hal yang diberitakan tersebut tidak benar. Mereka juga menilai judul berita tersebut "bersifat insinuatif dan provokatif."

Ketua PPI Tiongkok Raynaldo Aprilio, yang saat ini masih menjalani studinya di Universitas Nottingham Ningbo, Zhejiang, mengatakan bahwa materi tentang ideologi komunis memang diajarkan di lembaga pendidikan Cina – layaknya pelajaran PPKn atau Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan – di sekolah. Tapi mata pelajaran tersebut tidak diwajibkan bagi mahasiswa internasional.

"Biasanya kita ditawari pelajaran serupa untuk memenuhi SKS contohnya chinese culture, budaya Tiongkok, tapi kita tidak wajib untuk mengambil mata kuliah [tentang] ideologi komunis," katanya kepada BBC lewat sambungan telepon. Belajar ideologi-ideologi asing itu wajar saja karena merupakan bagian dari ilmu pengetahuan, kata Reynaldo.

Ia tidak menyangkal bahwa beberapa mahasiswa Indonesia, terutama dari jurusan politik, memang mempelajari ideologi komunis sebagai bagian dari ideologi asing; tapi itu sifatnya akademis, bukan indoktrinasi, kata Reynaldo yang sudah empat tahun tinggal di Cina.

"Belajar ideologi-ideologi asing itu wajar saja, karena merupakan bagian dari ilmu pengetahuan. Apakah kalau kita belajar ideologi asing, dalam konteks ini ideologi komunis, apakah kita nanti jadi komunis? Kan tidak juga."

Christine Susanna Tjhin, yang menjalani studi di Cina dan sekarang kerap berkunjung ke negeri itu untuk keperluan riset, membenarkan bahwa ada pemisahan antara mahasiswa lokal dan mahasiswa asing terkait mata kuliah tentang ideologi komunisme.

"Mahasiswa lokal diwajibkan untuk mengambil kelas mengenai Marxisme, Sosialisme, ajaran-ajaran Lenin...yang memang sesuai dengan ideologi negara di Tiongkok. Tidak ada pemaksaan bagi mahasiswa asing untuk mengikuti mata kuliah tersebut, " tutur Christine kepada BBC.

"Bahkan ditawarkan pun tidak."

Para pelajar Indonesia di Cina khawatir pemberitaan tersebut menimbulkan kesalahpahaman dan menggiring opini negatif terhadap mereka.


Christine juga tidak merasakan adanya propaganda terselubung dalam mata kuliah reguler yang ia ikuti selama belajar di Cina. “Konteksnya murni akademik”.

"Misalnya, saya meminati pelajaran tentang diplomasi Tiongkok, saya melihat sistem diplomasi di Tiongkok, dan strategi internalnya, dan lain-lain yang dilakukan Partai Komunis Tiongkok tapi itu tidak serta-merta propaganda yang disisipkan," ujarnya.

Fathan Sembiring, yang pernah menuntut ilmu dan bekerja di Cina selama 2011-2016, juga mengaku tidak pernah mendapatkan pelajaran tentang ideologi komunis. Fathan mengambil program D2 bahasa Mandarin di Universitas Peking, Beijing, kemudian S2 Ilmu Bisnis di Universitas Internasional Bisnis dan Ekonomi.

"Ketika ngambil pelajaran bahasa Mandarin, di situ banyak materi yang berkaitan dengan budaya misalnya sejarah, geografi, atau demografinya. [Materi] yang berkaitan dengan ideologi tidak ada sama sekali," kata Fathan.

"Karena toh pihak kampus, maupun pihak regulator pendidikan juga sudah barang tentu paham kalau ia mengajarkan atau memasukkan ideologi itu tidak akan ada gunanya untuk mahasiswa asing," ia menambahkan.

PPI Tiongkok mengeluarkan surat pernyataan sikap pada Senin (02/04) yang isinya meminta klarifikasi atas laporan Republika.

Mereka menilai laporan tersebut tidak didasari sumber dan fakta yang akurat.

Mereka juga menyatakan khawatir pemberitaan itu menimbulkan kesalahpahaman dan menggiring opini negatif terhadap pelajar Indonesia yang telah, sedang, dan akan menempuh pendidikan di Cina.

"Isu ini kan gampang banget untuk dieskalasi, disalahgunakan, disalahinterpretasikan, dan kita tahulah sensitifnya Indonesia dengan isu-isu seperti ini masih tinggi ... nanti ketika kita pulang ke Indonesia, kita dibilang lulusan Tiongkok ini antek-antek Cina padahal kita cinta Indonesia," tutur Reynaldo.

Secara terpisah, Christine yang kini menjadi peneliti di Center for Strategic and International Studies menilai bahwa isu ini bermula dari kesalahpahaman tentang Tiongkok. "[Isu ini] sebenarnya tidak relevan terhadap situasi dan perkembangan proses belajar mahasiswa Indonesia di Tiongkok," pungkasnya.

BBC telah menghubungi Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Sofyan Anif maupun Republika untuk meminta konfirmasi, namun belum mendapat jawaban.

Komentar

Terpopuler 热搜

15 Tahun Menunda, Tapi Tidak Lupa (Mei 1998)

OPINION: 18 Years Ago Today: May 1998 and to Never Forget

OPINION: (Anti) Corruption in China’s Belt and Road Initiative