Postingan

OPINI: Imlek, esensialisme, dan pengakuan

Gambar
Kompas, 28 Januari 2006 Pedagang pernak-pernik Imlek di Glodok menjajakan barang dagangannya. (Foto: CNN Indonesia/Andry Novelino). Imlek di Indonesia dari tahun ke tahun kian meriah. Di pusat perbelanjaan, televisi, reklame, koran, majalah, ornamen oriental, dan kaligrafi, Gong Xi Fa Chai bertebaran. Suasana Imlek sering dijadikan salah satu ukuran guna menilai "kebangkitan etnis Tionghoa". Penilaian itu beragam, dari "kemenangan" hingga "kebablasan", bahkan "resinifikasi". Imlek dijadikan salah satu strategi esensialisme ( essentialism ), di mana simbol-simbol identitas Tionghoa kembali dihadirkan dalam proses politik pengakuan ( politics of recognition ). Politik pengakuan Charles Taylor (1992) menjelaskan, dinamika identitas tidak terlepas dari politik pengakuan yang memiliki karakter dialogis ( dialogical ). Identitas individu terbentuk melalui proses dialog antara individu itu dan individu atau kelompok lain. Di tataran publik, ...

Wawancara Perspektif Baru: Perkembangan Dalam Peran Tionghoa

Gambar
PERSPEKTIF BARU BERSAMA WIMAR WITOELAR: Christine Susanna Tjhin adalah seorang peneliti di Center for Strategic and International Studies (CSIS) sejak 2003. Kami sering mendengarkan pandangannya di forum umum dan tulisannya di berbagai media, terutama juga kehadirannya dalam forum riset. Tapi yang kami ingin sorot sekarang beberapa pandangannya mengenai topik pembawaan perilaku peran kaum turunan Tionghoa di Indonesia. Ini bukan hanya karena dia keturunan Tionghoa tapi minat pribadinya dan juga terkait banyak aspek seperti dirinya sebagai peneliti, aspek kelompok minoritas, dan aspek perkembangan demokrasi di Indonesia. Menurut Christine, kini sudah mulai ada pergeseran pandangan pada etnis Tionghoa untuk pengakuan. Mereka melihat tuntutan untuk mendapatkan keadilan terhadap kejadian Mei itu sudah tidak kena strateginya. Kini mereka sudah punya semacam pemahaman bahwa perjuangan pengakuan terhadap komunitas Tionghoa itu tidak cuma di sana. Selain itu, pada saat ini juga sudah muncul ...

OPINION: Ending the cruelty of law

Gambar
The Jakarta Post, June 30, 2005. Almost seven years after reform, the rule of law as one of the key pillars of democracy remains a fragile one. In law enforcement, we seek the certainty of the law, but what we get is the cruelty of the law. According to the Indonesian Legal Aid and Human Rights Association's (PBHI) report for 2002, the police are responsible for 60 percent of reported cases of state violence. In 2004, another human rights organization, Imparsial, made similar conclusion after researching media reports on violence. Since the National Police separated from the Indonesian Military (TNI) -- as part of the reform of Indonesia's security sector and the democratization process -- the police have regained their full original mandate to protect and to serve the people, as stated in Law No. 2/2002 on the National Police. We know that police reform has not been as "popular" as military reform. The police face the extensive tasks of curbing corruption and...

OPINION: How the Chinese Indonesians share their wealth

Gambar
The Jakarta Post, February 12, 2005 It has been a hallmark of Chinese New Year (or Imlek) to share angpao (red envelopes) as a gesture of sharing wealth, luck and joy. What does a Chinese Indonesian have to share in this Imlek of 2556? In light of the tsunami catastrophe several Chinese Indonesian religious and cultural associations found it necessary to call for more moderate celebrations. Perhaps it was a futile call -- remembering how during New Year's Eve, less than a week after the disaster, frenzied parties were still held. After all, Imlek these days is no longer a closed family celebration. Since 2000 it has become a festive national occasion -- mainly thanks to the media and business sector. Nevertheless, the call is a sympathetic gesture that we ought to respect. Festive or moderate, Imlek is an expression, even at the most superficial level, of the extent to which Chinese Indonesians are freely able to express themselves and of how much they are generally accepted ...

OPINI: Isu negatif di tengah bencana

Gambar
Koran Tempo, January 11, 2005 Di tengah hiruk-pikuk fatalnya bencana tsunami, meningkatnya jumlah kematian dan korban luka-luka, derasnya aliran pengungsi ke daerah aman, ramainya bantuan kemanusiaan dari berbagai penjuru, semrawutnya koordinasi aliran bantuan, dan simpang-siurnya informasi, masyarakat Indonesia masih harus menghadapi isu-isu yang berbau suku, agama, dan ras. Maraknya isu-isu ini merupakan konflik laten yang berpotensi besar menghambat jalannya proses bantuan kemanusiaan di Aceh dan Sumatera Utara, juga melukai kebersamaan masyarakat Indonesia yang beragam, yang selama ini terbangun secara alamiah dalam merespons bencana. Berdasarkan pengamatan dari tim relawan gabungan kami di Medan dan Banda Aceh, setidaknya ada beberapa rumor yang sudah berimplikasi besar. Isu penjarahan, pembakaran, dan pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa, isu penganiayaan terhadap kelompok agama minoritas, dan beribu macam isu lain berseliweran, terutama melalui surat elektronik dan pesan pend...

OPINION: Wounding the spirit of humanity

Gambar
The Jakarta Post, January 8, 2005 The compassionate appeal made by Jusuf Wanandi to all citizens, particularly Chinese-Indonesians, to help Aceh and Indonesia cannot be emphasized enough (The Jakarta Post, Jan. 4). The caution to dismiss politics in the long-term handling of humanitarian aid goes hand in hand with the urgent need and grim future of the tsunami victims and refugees. The opportunity for reconciliation may be in peril because of racial and religious prejudices, if you believe the rumors circulating around Aceh, Jakarta and beyond. Based on our observations in the field, there are several major issues that could cause conflict. At stake is not only the rehabilitation of Aceh, but also the very foundation of Indonesian unity. False stories about looting, burning and rape targeting the ethnic Chinese in Aceh, the abuse of religious minorities and other rumors have been circulating via email and SMS. Some people responded to these ridiculous rumors by calling for a stop...

OPINI: Partisipasi Politik Tionghoa dan Demokrasi

Gambar
Kompas, Opini - 20 September 2004. JIKA selama Pemilu 1999, komunitas Tionghoa tampak malu-malu dan agak canggung dalam berpolitik, dalam Pemilu 2004, partisipasi politik komunitas Tionghoa terlihat semakin dinamis dan asertif. Bagaimana membaca dinamika itu secara kritis? "Binatang ekonomi" dan "apolitis" adalah dua stigma populer yang berurat-akar bagi orang Tionghoa. Persepsi mayoritas elite politik Indonesia tampaknya masih berkutat di situ karena menilai partisipasi Tionghoa sebatas keuntungan ekonomis. Persepsi ini adalah buah dari asumsi tidak mendasar bahwa komunitas Tionghoa yang hanya 2 persen dari populasi menguasai 70 persen perekonomian nasional. Citra kekuatan ekonomi komunitas Tionghoa memang sudah ada sejauh sejarah kolonial. Tetapi label 2 persen dan 70 persen menjadi hingar-bingar di akhir tahun 1990 an seiring krisis ekonomi Asia, dikarenakan tendensi bombastis sejumlah jurnalis masa lalu yang salah mengutip penelitian Michael Backman (1...

OPINION: Minority participation and democratization

Gambar
The Jakarta Post, 3 September 2004 Since the legislative election in April, more Chinese-Indonesians have undoubtedly been engaged in the country's democratization, and this degree of enthusiasm is a new precedent for their future participation. In the past, the only "participation" expected concerned economic activities. The reconstruction of the Chinese-Indonesian identity was shaped much by such economic preferences, which led to the stereotypical stigma that the ethnic group, which comprises 2 percent of the Indonesian population, makes up 70 percent of the economy. Although no valid proof exists to indicate the precise economic power of Chinese-Indonesians -- nor any to calculate the economic power of other ethnic groups in Indonesia -- this "popular" stigma has stuck. The notion of Chinese-Indonesians holding economic power has held sway for as long as the nation's history, particularly since the colonial era. However, this stigma was amplified i...

OPINI: Belajar dari tragedi Minamata

Gambar
Kompas, August 31, 2004. Tragedi Minamata dan tragedi lainnya menggeser perilaku Jepang atas lingkungan. Perubahan tersebut ditandai dengan kelahiran kosakata baru, "kogai", yang berarti penghancuran domain publik (Jun Ui, 1992). Meskipun kasus Minamata berhasil dimenangi oleh warga, banyak yang menyesali bahwa andai direspons lebih cepat, kasus ini bisa saja menjadi sentra krusial yang menjadi titik pusat perubahan ekonomi politik Jepang yang membentuk perilaku terhadap lingkungan yang lebih baik di masa yang akan datang.    Seandainya hal ini tercapai, Jepang tidak perlu menghadapi tragedi-tragedi lingkungan lainnya (penyakit itai-itai, asma Yokkaichi, dan lain-lain) yang memukul sedemikian kuat. Haruskah kejadian setragis Minamata terjadi dulu di Indonesia sebelum kita semua menyadari apa artinya lingkungan bagi kehidupan kita? Perdebatan tereduksi pada apakah warga Buyat menderita Minamata atau bukan. Apa pun jawabannya, fakta menunjukkan bahwa faktor lingkungan ...