OPINI: Isu negatif di tengah bencana
Koran Tempo, January 11, 2005
Di tengah hiruk-pikuk fatalnya bencana tsunami, meningkatnya jumlah kematian dan korban luka-luka, derasnya aliran pengungsi ke daerah aman, ramainya bantuan kemanusiaan dari berbagai penjuru, semrawutnya koordinasi aliran bantuan, dan simpang-siurnya informasi, masyarakat Indonesia masih harus menghadapi isu-isu yang berbau suku, agama, dan ras. Maraknya isu-isu ini merupakan konflik laten yang berpotensi besar menghambat jalannya proses bantuan kemanusiaan di Aceh dan Sumatera Utara, juga melukai kebersamaan masyarakat Indonesia yang beragam, yang selama ini terbangun secara alamiah dalam merespons bencana.
Berdasarkan pengamatan dari tim relawan gabungan kami di Medan dan Banda Aceh, setidaknya ada beberapa rumor yang sudah berimplikasi besar. Isu penjarahan, pembakaran, dan pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa, isu penganiayaan terhadap kelompok agama minoritas, dan beribu macam isu lain berseliweran, terutama melalui surat elektronik dan pesan pendek (SMS), telah sangat meresahkan masyarakat. Akibatnya munculnya isu-isu tandingan untuk menyetop bantuan ke Aceh akibat kekecewaan atas ancaman isu tersebut. Betapa memalukan sikap-sikap reaktif seperti itu. Sangatlah tidak pantas seorang manusia yang mengaku memiliki hati, bahkan untuk berpikir tentang hal itu.
Tim relawan yang terjun ke Banda Aceh memastikan bahwa isu-isu tersebut tidak benar. Meskipun ada beberapa kasus penjarahan dan pembakaran, hal itu dilakukan oleh oknum-oknum pribadi, bukan tindakan kolektif yang sistematis dan terorganisasi sebagaimana terjadi pada Mei 1998. Harus diingat bahwa dalam situasi bencana, orang-orang sangat kesakitan dan kelaparan. Tindakan mereka hanya didasari oleh tuntutan untuk bertahan hidup. Sekali lagi, hal itu bukan kerusuhan rasial.
Kasus lainnya, ada isu bahwa sebuah posko bantuan dan pengungsi di wilayah Metal di Medan hanya eksklusif untuk kelompok etnis tertentu. Hal ini telah membangun rasa curiga di kalangan masyarakat dan sempat menimbulkan ketegangan-ketegangan antarkelompok yang sangat meresahkan para pengungsi yang sudah banyak menderita dan membebani mental para relawan yang sudah bekerja tanpa dibayar.
Padahal posko tersebut setiap saat menerima pengungsi tanpa melihat perbedaan status ataupun identitas. Selain itu, posko itu juga telah mengalirkan bantuan-bantuan ke posko-posko lain, baik di Medan maupun di daerah bencana, tanpa membeda-bedakan. Setelah informasi ini disebar dan diklarifikasi, para relawan bisa bekerja lagi tanpa beban prasangka.
Contoh lain adalah saat ditemukannya sebuah selebaran di bandar udara Banda Aceh yang mengatasnamakan salah satu partai yang sangat populer pada Pemilu 2004. Isi selebaran tersebut adalah informasi pengadopsian anak yang dikaitkan dengan larangan pengadopsian untuk kelompok agama yang berbeda, karena dianggap kafir. Hal ini terjadi di tengah maraknya kasus anak-anak pengungsi yang hilang dan kecurigaan adanya isu perdagangan anak. Tuduhan antiagama tertentu berseliweran seputar siapa oknum di balik hilangnya anak-anak dan perdagangan anak-anak.
Setelah dimintai konfirmasi, partai tersebut menyangkal dan mensinyalir adanya kampanye hitam oleh oknum yang tidak diketahui identitasnya. Dengan diklarifikasikannya isu tersebut, ketegangan telah diredam, koordinasi menjadi lebih ditingkatkan, dan proses penyaluran bantuan kembali tidak dibebani.
Kehadiran bantuan dan relawan-relawan dari mancanegara juga tidak luput dari isu-isu negatif. Sebuah yayasan "asing" dengan kapasitas posko bantuan terbesar di Aceh mendapat tuduhan eksklusif dan membangun jarak dengan posko-posko lain. Seorang penelepon dalam sebuah acara di TV swasta nasional mengatakan bahwa relawan-relawan "asing" jangan dibiarkan masuk ke Aceh, karena Indonesia adalah bangsa yang besar yang mampu menyelesaikan masalah ini. Ini adalah pendapat yang sangat absurd dan sangat tidak berkaca pada kondisi lapangan.
Kenyataannya, bantuan dan relawan asing di hari awal setelah bencana memiliki perlengkapan yang lebih canggih dalam menyalurkan bantuan. Berapa banyak korban dan pengungsi yang sudah diselamatkan karenanya. Sebelum posko-posko LSM lokal mampu dibangun di Banda Aceh, bantuan banyak bergantung pada infrastruktur dan fasilitas yang dibawa oleh relawan-relawan "asing" ini. Komunikasi yang lebih intensif dan keterbukaan antara posko-posko relawan sangat penting dalam menunjang proses bantuan.
Tim-tim relawan di lapangan merupakan bukti konkret kekuatan pluralisme di Indonesia. Keberagaman identitas tim-tim inilah yang membantu meredam isu-isu tidak bertanggung jawab melalui koordinasi berbagai elemen di masyarakat, entah itu yang bersifat lintas iman maupun lintas etnis. Tanpa koordinasi seperti ini, isu-isu tersebut akan menetaskan konflik di masyarakat dan mengalihkan tenaga kita yang seharusnya ditujukan pada proses bantuan kepada korban dan pengungsi.
Putra-putri bangsa dengan segala macam latar belakang yang mendoakan, menyumbang, maupun yang datang ke Medan, Aceh, dan Meulaboh berpegang pada satu hasrat, yaitu hasrat kemanusiaan. Tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab tersebut telah menodai itikad baik dan kerja keras para relawan dan penyumbang di seluruh pangkuan Ibu Pertiwi.
Di saat tenaga seharusnya terpusat pada bantuan kemanusiaan, politisasi identitas datang menikam dari belakang. Haruskah kekuatan bersama untuk kemanusiaan itu terserap tanpa daya oleh pasir hisap fanatisme berlebihan?
Dibutuhkan kebesaran hati, kesabaran, dan kebijaksanaan dalam menangani sebuah bencana sebesar bencana tsunami ini. Di satu sisi, semua pihak akan merasa sangat tertekan dan stres berat menghadapi tragedi yang demikian mengguncang. Pemikiran dan tindakan negatif terkadang menjadi percabangan dari situasi tersebut, sehingga dapat dimaklumi jika terdapat ketegangan-ketegangan yang diakibatkan oleh kesalahpahaman atau kurangnya informasi.
Namun, di sisi lain, mengingat situasi kelaparan yang diperparah dengan pendistribusian bantuan yang semrawut dan logistik yang lemah, sentimen antiagama atau antietnis tersebut dapat menjadi potensi konflik yang rentan. Dengan kata lain, semua harus disikapi dengan bijak karena terkadang niat baik saja tidaklah cukup.
Selain itu, mengingat bahwa sistem pemerintahan dan aparat keamanan di daerah bencana pun hampir lumpuh karena sebagian besar anggotanya menjadi korban, maka semua pihak harus bisa membantu menjaga agar konflik-konflik yang tidak perlu itu bisa dicegah. Kelambanan pemerintah dalam mengantisipasi bencana sangatlah disayangkan dan harus secepatnya ditangani.
Tambahan lagi, ketakutan-ketakutan akan terjadinya pengendapan dana bantuan oleh oknum-oknum pemerintah yang terkenal korup, misalnya, sudah marak dan diasumsikan bahwa pengendapan dana tersebut akan dimanipulasikan untuk kepentingan pemilihan kepala daerah yang akan datang. Jika hal itu sampai benar-benar terjadi, korupsi seperti itu memperparah proses alokasi bantuan yang berujung pada semakin kecewanya masyarakat. Harus ada mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban yang transparan untuk aliran dana bantuan, baik di tataran pemerintah maupun di tataran nonpemerintah.
Semua situasi di atas adalah situasi nyata yang terjadi di tengah tragedi tsunami di Indonesia. Tantangan di hadapan kita semua masih sedemikian besar. Bantuan dalam skala besar dan bersifat jangka panjang masih sangat dibutuhkan oleh saudara-saudari kita di Aceh dan Sumatera Utara. Yang lebih penting lagi, kesetiaan hati dari seluruh elemen masyarakat Indonesia harus tetap dijaga agar proses bantuan Aceh pascabencana dapat terus berjalan. Mari kita kuatkan kebersamaan kita dengan keberagaman kita demi Aceh dan demi Indonesia.
**Para penulis: Ulung Rusman (Koordinator Tim Relawan Perhimpunan Indonesia Tionghoa), Ilma Sovri Yanti (Koordinator Tim Relawan Institut Pluralisme Indonesia), Christine Susanna Tjhin (Anggota tim relawan).
Di tengah hiruk-pikuk fatalnya bencana tsunami, meningkatnya jumlah kematian dan korban luka-luka, derasnya aliran pengungsi ke daerah aman, ramainya bantuan kemanusiaan dari berbagai penjuru, semrawutnya koordinasi aliran bantuan, dan simpang-siurnya informasi, masyarakat Indonesia masih harus menghadapi isu-isu yang berbau suku, agama, dan ras. Maraknya isu-isu ini merupakan konflik laten yang berpotensi besar menghambat jalannya proses bantuan kemanusiaan di Aceh dan Sumatera Utara, juga melukai kebersamaan masyarakat Indonesia yang beragam, yang selama ini terbangun secara alamiah dalam merespons bencana.
Berdasarkan pengamatan dari tim relawan gabungan kami di Medan dan Banda Aceh, setidaknya ada beberapa rumor yang sudah berimplikasi besar. Isu penjarahan, pembakaran, dan pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa, isu penganiayaan terhadap kelompok agama minoritas, dan beribu macam isu lain berseliweran, terutama melalui surat elektronik dan pesan pendek (SMS), telah sangat meresahkan masyarakat. Akibatnya munculnya isu-isu tandingan untuk menyetop bantuan ke Aceh akibat kekecewaan atas ancaman isu tersebut. Betapa memalukan sikap-sikap reaktif seperti itu. Sangatlah tidak pantas seorang manusia yang mengaku memiliki hati, bahkan untuk berpikir tentang hal itu.
Tim relawan yang terjun ke Banda Aceh memastikan bahwa isu-isu tersebut tidak benar. Meskipun ada beberapa kasus penjarahan dan pembakaran, hal itu dilakukan oleh oknum-oknum pribadi, bukan tindakan kolektif yang sistematis dan terorganisasi sebagaimana terjadi pada Mei 1998. Harus diingat bahwa dalam situasi bencana, orang-orang sangat kesakitan dan kelaparan. Tindakan mereka hanya didasari oleh tuntutan untuk bertahan hidup. Sekali lagi, hal itu bukan kerusuhan rasial.
Kasus lainnya, ada isu bahwa sebuah posko bantuan dan pengungsi di wilayah Metal di Medan hanya eksklusif untuk kelompok etnis tertentu. Hal ini telah membangun rasa curiga di kalangan masyarakat dan sempat menimbulkan ketegangan-ketegangan antarkelompok yang sangat meresahkan para pengungsi yang sudah banyak menderita dan membebani mental para relawan yang sudah bekerja tanpa dibayar.
Padahal posko tersebut setiap saat menerima pengungsi tanpa melihat perbedaan status ataupun identitas. Selain itu, posko itu juga telah mengalirkan bantuan-bantuan ke posko-posko lain, baik di Medan maupun di daerah bencana, tanpa membeda-bedakan. Setelah informasi ini disebar dan diklarifikasi, para relawan bisa bekerja lagi tanpa beban prasangka.
Contoh lain adalah saat ditemukannya sebuah selebaran di bandar udara Banda Aceh yang mengatasnamakan salah satu partai yang sangat populer pada Pemilu 2004. Isi selebaran tersebut adalah informasi pengadopsian anak yang dikaitkan dengan larangan pengadopsian untuk kelompok agama yang berbeda, karena dianggap kafir. Hal ini terjadi di tengah maraknya kasus anak-anak pengungsi yang hilang dan kecurigaan adanya isu perdagangan anak. Tuduhan antiagama tertentu berseliweran seputar siapa oknum di balik hilangnya anak-anak dan perdagangan anak-anak.
Setelah dimintai konfirmasi, partai tersebut menyangkal dan mensinyalir adanya kampanye hitam oleh oknum yang tidak diketahui identitasnya. Dengan diklarifikasikannya isu tersebut, ketegangan telah diredam, koordinasi menjadi lebih ditingkatkan, dan proses penyaluran bantuan kembali tidak dibebani.
Kehadiran bantuan dan relawan-relawan dari mancanegara juga tidak luput dari isu-isu negatif. Sebuah yayasan "asing" dengan kapasitas posko bantuan terbesar di Aceh mendapat tuduhan eksklusif dan membangun jarak dengan posko-posko lain. Seorang penelepon dalam sebuah acara di TV swasta nasional mengatakan bahwa relawan-relawan "asing" jangan dibiarkan masuk ke Aceh, karena Indonesia adalah bangsa yang besar yang mampu menyelesaikan masalah ini. Ini adalah pendapat yang sangat absurd dan sangat tidak berkaca pada kondisi lapangan.
Kenyataannya, bantuan dan relawan asing di hari awal setelah bencana memiliki perlengkapan yang lebih canggih dalam menyalurkan bantuan. Berapa banyak korban dan pengungsi yang sudah diselamatkan karenanya. Sebelum posko-posko LSM lokal mampu dibangun di Banda Aceh, bantuan banyak bergantung pada infrastruktur dan fasilitas yang dibawa oleh relawan-relawan "asing" ini. Komunikasi yang lebih intensif dan keterbukaan antara posko-posko relawan sangat penting dalam menunjang proses bantuan.
Tim-tim relawan di lapangan merupakan bukti konkret kekuatan pluralisme di Indonesia. Keberagaman identitas tim-tim inilah yang membantu meredam isu-isu tidak bertanggung jawab melalui koordinasi berbagai elemen di masyarakat, entah itu yang bersifat lintas iman maupun lintas etnis. Tanpa koordinasi seperti ini, isu-isu tersebut akan menetaskan konflik di masyarakat dan mengalihkan tenaga kita yang seharusnya ditujukan pada proses bantuan kepada korban dan pengungsi.
Putra-putri bangsa dengan segala macam latar belakang yang mendoakan, menyumbang, maupun yang datang ke Medan, Aceh, dan Meulaboh berpegang pada satu hasrat, yaitu hasrat kemanusiaan. Tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab tersebut telah menodai itikad baik dan kerja keras para relawan dan penyumbang di seluruh pangkuan Ibu Pertiwi.
Di saat tenaga seharusnya terpusat pada bantuan kemanusiaan, politisasi identitas datang menikam dari belakang. Haruskah kekuatan bersama untuk kemanusiaan itu terserap tanpa daya oleh pasir hisap fanatisme berlebihan?
Dibutuhkan kebesaran hati, kesabaran, dan kebijaksanaan dalam menangani sebuah bencana sebesar bencana tsunami ini. Di satu sisi, semua pihak akan merasa sangat tertekan dan stres berat menghadapi tragedi yang demikian mengguncang. Pemikiran dan tindakan negatif terkadang menjadi percabangan dari situasi tersebut, sehingga dapat dimaklumi jika terdapat ketegangan-ketegangan yang diakibatkan oleh kesalahpahaman atau kurangnya informasi.
Namun, di sisi lain, mengingat situasi kelaparan yang diperparah dengan pendistribusian bantuan yang semrawut dan logistik yang lemah, sentimen antiagama atau antietnis tersebut dapat menjadi potensi konflik yang rentan. Dengan kata lain, semua harus disikapi dengan bijak karena terkadang niat baik saja tidaklah cukup.
Selain itu, mengingat bahwa sistem pemerintahan dan aparat keamanan di daerah bencana pun hampir lumpuh karena sebagian besar anggotanya menjadi korban, maka semua pihak harus bisa membantu menjaga agar konflik-konflik yang tidak perlu itu bisa dicegah. Kelambanan pemerintah dalam mengantisipasi bencana sangatlah disayangkan dan harus secepatnya ditangani.
Tambahan lagi, ketakutan-ketakutan akan terjadinya pengendapan dana bantuan oleh oknum-oknum pemerintah yang terkenal korup, misalnya, sudah marak dan diasumsikan bahwa pengendapan dana tersebut akan dimanipulasikan untuk kepentingan pemilihan kepala daerah yang akan datang. Jika hal itu sampai benar-benar terjadi, korupsi seperti itu memperparah proses alokasi bantuan yang berujung pada semakin kecewanya masyarakat. Harus ada mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban yang transparan untuk aliran dana bantuan, baik di tataran pemerintah maupun di tataran nonpemerintah.
Semua situasi di atas adalah situasi nyata yang terjadi di tengah tragedi tsunami di Indonesia. Tantangan di hadapan kita semua masih sedemikian besar. Bantuan dalam skala besar dan bersifat jangka panjang masih sangat dibutuhkan oleh saudara-saudari kita di Aceh dan Sumatera Utara. Yang lebih penting lagi, kesetiaan hati dari seluruh elemen masyarakat Indonesia harus tetap dijaga agar proses bantuan Aceh pascabencana dapat terus berjalan. Mari kita kuatkan kebersamaan kita dengan keberagaman kita demi Aceh dan demi Indonesia.
**Para penulis: Ulung Rusman (Koordinator Tim Relawan Perhimpunan Indonesia Tionghoa), Ilma Sovri Yanti (Koordinator Tim Relawan Institut Pluralisme Indonesia), Christine Susanna Tjhin (Anggota tim relawan).
Komentar
Posting Komentar