Pencatutan Nama Pakar dalam Kampanye Prabowo
(Sebenarnya ini dari status Facebook wall saya tanggal 26 April 2014, tapi karena infonya penting, maka saya copas ke blog supaya bisa dibagi ke publik).
Selain itu, yg memantik urun rembug menarik di laman Ed, adalah kehadiran sejarawan Oxford University, Peter Carey dalam video propaganda itu di mana beliau menjabarkan garis keturunan Prabowo terkait tokoh2 legendaris Nusantara, spt Sultan Agung dari abad 17 Mataram dan Raden Tumenggung Kertanegara III, yg bertempur bersama Pangeran Diponegoro melawan Belanda. (Halo, Diponegoro? Jadi bukan keturunan Diponegoro? Di Gelora Bung Karno kamarin tea jd kumaha jang?). Tibke menganggap kesaksian Carey ini menimbulkan kesan bahwa dengan garis keturunan spt itu, tidak mungkin akan terlahir sosok (Prabowo) yang hanya "ikut-ikut saja", bahwa faktor biologis (keturunan) menentukan kualitas sosok pemimpin. Dengan kata lain, jika moyangnya saja sudah mulia dan pemberani, maka keturunannya pasti mulia dan pemberani. #maksutloape #cobaulangsekalilage
Sejumlah komentar bermunculan termasuk pertanyaan jangan-jangan Carey dimanipulasi dan tidak tahu kalau kata2nya dipelintir untuk propaganda. Hingga saat ini belum ada konfirmasi dari yang bersangkutan. [Respon Peter Carey tgl 27 & 28 April 2014 dalam dua bahasa akan saya lampirkan di paling bawah]. Seorang alumnus Oxford, menginformasikan bahwa pencetakan mahakarya Peter Carey tentang Diponegoro didanai penuh oleh adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo melalui Yayasan Arsari Djojohadikusumo. Ini menimbulkan pertanyaan ketidakberpihakan Carey.
Ternyata pencatutan nama akademia pernah dilakukan oleh kubu Prabowo. Nama Geoffrey Robinson, sejarawan & pengamat Indonesia kawakan lulusan Cornell yg smpat mengajar di UCLA itupun pernah dicatut beberapa kali. Tadinya saya sempat mencari video yg dimaksud Geoffrey di Youtub, tapi sudah dicabut oleh YouTube. Beruntung Mas Heru Hendratmoko dari Kantor Berita-Radio Kantor Berita Radio (KBR68H) memuat pemberitaan tentang hal ini. Tautan beritanya sebagai berikut:
Pencatutan nama & memelintir karya akademik adalah pelecehan terbesar terhadap hasil kerja keras intelektual. Pembodohan publik adalah pelecehan terbesar terhadap hasil kerja keras Menjadi Indonesia, yg damai yg beragam yg sejahtera. Tidak boleh dibiarkan.
LAWAN!!!
Untungnya dinamika media sosial tidak bisa dikontrol dan rakyat tidak bisa dibodohi.
Apapun bungkusmu, bila nasimu basi, tak ada yang makan. Hidup nasi bungkus!
===================================
(Tambahan dari status Facebook 5 Mei 2014 sebagai kelanjutan dari diskusi di atas).
LAWAN!!!
Untungnya dinamika media sosial tidak bisa dikontrol dan rakyat tidak bisa dibodohi.
Apapun bungkusmu, bila nasimu basi, tak ada yang makan. Hidup nasi bungkus!
===================================
(Tambahan dari status Facebook 5 Mei 2014 sebagai kelanjutan dari diskusi di atas).
Yang satu masih dg gagah berani melakukan pembodohan publik di media sosial resminya.
Yang satu menyanggah di media sosial pribadi orang2 yg mengkritisi video ini.
Bagaimana menurut anda, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)? PrabowoSubianto
(Cerita sebelumnya: http://cstjhin.blogspot.com/2014/04/pencatutan-nama-dalam-kampanye-prabowo.html)
Apapun itu, meski akan sangat bagus sekali jika Peter Carey bertindak sesuatu lagi, saya tetap menghargai tanggapan dari Peter Carey dan masukan dari rekan2 lain.
Intinya jangan sembarang catut-catut nama besar orang... Minta ijin atau permisi itu bukan cuma bentuk kesantunan dan keberadaban, tapi juga kebijaksanaan dan kerendahan hati. #CatatBaikBaik
============================
Dalam bahasa Inggris, tertanggal 27 April 2014:
The interview in which I appear in the documentary 'Sang Patriot' was in fact made over a year beforehand in the context of a much longer 90 minute interview which was made in the aftermath of the publication of the Indonesian version of my Power of Prophecy. This was supported by the Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD) and distributed widely to tertiary institutions. But YAD were not the only funder - the Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (Leiden) bore most of the costs of the translation. There was no mention of Sultan Agung (reigned 1613-46) in my interview and I have no expertise in seventeenth-century history. The only two Djojohadikusumo relatives spoken of were Diponegoro's junior commander, Tumenggung Banyakwide (Kertanegara IV of Banyumas), and Raden Tumenggung Djojodiningrat (in office, 1832-60), who, as the first bupati of Karanganyar after the Java War became the first indigenous historian of the Java War (his manuscript is in the Indonesian National Library - ML97). Both suffered grievously for their involvement - Banyakwide being exiled to Ternate and Djojodiningrat suffering severe war wounds which left him lame. I have known about both these individuals since 1973 when I corresponded with Raden Mas Margono Djojohadikusumo over his book Herrinneringen uit Die Tijdperken. The interview in Sang Patriot is therefore out of context.
Yang satu menyanggah di media sosial pribadi orang2 yg mengkritisi video ini.
Bagaimana menurut anda, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)? PrabowoSubianto
(Cerita sebelumnya: http://cstjhin.blogspot.com/2014/04/pencatutan-nama-dalam-kampanye-prabowo.html)
- Ada yg mengatakan sanggahan Peter Carey ini cukup, yg penting yg bersangkutan sudah menyibak tipuan manipulasi politik ini dan menegaskan bhw interview dlm video ini "tidak berkonteks".
- Ada yg mengatakan harusnya Peter Carey lebih keras mengutuk video propaganda ini dan minta agar dicabut video atau foto2 propaganda dengan wajahnya .
- Ada yg mengatakan mengerti dg argumen berorientasi akademis Peter Carey dan keinginannya utk tidak terseret dalam pusaran atau intimidasi politik.
- Ada yg menuntut pertanggungjawaban moral dari sosok intelektual ini agar berbuat lebih dalam mencabut namanya dari propaganda ini. Netralitas (intelektual) menghadapi pelanggar HAM adalah ibarat intelektual Jerman yg tidak anti-Semit tapi diam saja melihat Auschwitz di masa Hitler, atau sejumlah tentara2 Jepang yg dg hati terkoyak hanya menjalankan perintah sambil melihat rekan sejawatnya mengoyak Nanking.
Apapun itu, meski akan sangat bagus sekali jika Peter Carey bertindak sesuatu lagi, saya tetap menghargai tanggapan dari Peter Carey dan masukan dari rekan2 lain.
Intinya jangan sembarang catut-catut nama besar orang... Minta ijin atau permisi itu bukan cuma bentuk kesantunan dan keberadaban, tapi juga kebijaksanaan dan kerendahan hati. #CatatBaikBaik
============================
Peter Carey, 28 April 2014, komentar di laman Facebook saya:
Interview dengan saya tentang Perang Jawa (1825-30) dan peran dua kerabat keluarga Djojohadikusumo di Dokumenter 'Sang Patriot' yang diungah ke Youtube tidak dibuat untuk documenter tersebut tapi diambil dari suatu wawancara hampir 90 menit tentang asal-usulnya dan dampak Perang Jawa yang dibuat lebih dari satu tahun sebelumnya dalam konteks terbitan buku Kuasa Ramalan (Maret 2012) yang didukung Yayasan Arsari (YAD), dan disebar ke SMA dan Universitas. Sebenarnya, YAD bukan sponsor tunggal sebab ada juga beberapa instansi lain - terutama Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV, Leiden) dan Association of Southeast Asian Studies in the United Kingdom (ASEASUK), yang memikul biaya untuk terjemahan semua tekst asli Inggris dalam Bahasa Indonesia. Nama Sultan Agung (bertakhta, 1613-46) dan hubungan trah keluarga Djojohadikusumo dengan raja besar Mataram abad ketujuhbelas sama sekali tidak disebut dalam interview. Saya bukan ahli sejarah abad tujuhbelas. Yang saya membahas, selain konteks dan asal-usul Perang Jawa, adalah peran dua kerabat Djojohadikusumo sebagai pendukung Pangeran Diponegoro - yaitu (1) Raden Tumenggung Banyakwide (Kertanegara IV); dan (2) Raden Tumenggung Djojodiningrat, yang sesudah Perang Jawa menjadi Bupati Karanganyar (menjabat, 1832-60) dan sejarawan pribumi pertama yang menulis tentang Perang Jawa (naskahnya - ML97 - yang di-edit sejarawan Belanda Jan Hageman Jcz adalah di Perpustakaan Nasional di Jakarta). Saya sudah tahu mengenai dua veteran Perang Jawa itu sejak Maret 1973 waktu saya surat-menyurat dengan almarhum Raden Mas Margono Djojohadikusumo yang baru menerbitkan memoirnya - Herinneringen uit Drie Tijdperken (Kenang-Kenangan tentang Tiga Zaman [Hindia-Belanda, Jepang, dan pasca-Merdeka]. Eyang putri Raden Mas Margono adalah anak dari pasangan putra Banyakwide dan putri Djojodiningrat, suatu sejarah kekeluargaan veteran Perang Jawa yang menarik. Jadi interview yang dimuat di dokumenter 'Sang Patriot' sama sekali tidak berkonteks.zDalam bahasa Inggris, tertanggal 27 April 2014:
The interview in which I appear in the documentary 'Sang Patriot' was in fact made over a year beforehand in the context of a much longer 90 minute interview which was made in the aftermath of the publication of the Indonesian version of my Power of Prophecy. This was supported by the Yayasan Arsari Djojohadikusumo (YAD) and distributed widely to tertiary institutions. But YAD were not the only funder - the Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (Leiden) bore most of the costs of the translation. There was no mention of Sultan Agung (reigned 1613-46) in my interview and I have no expertise in seventeenth-century history. The only two Djojohadikusumo relatives spoken of were Diponegoro's junior commander, Tumenggung Banyakwide (Kertanegara IV of Banyumas), and Raden Tumenggung Djojodiningrat (in office, 1832-60), who, as the first bupati of Karanganyar after the Java War became the first indigenous historian of the Java War (his manuscript is in the Indonesian National Library - ML97). Both suffered grievously for their involvement - Banyakwide being exiled to Ternate and Djojodiningrat suffering severe war wounds which left him lame. I have known about both these individuals since 1973 when I corresponded with Raden Mas Margono Djojohadikusumo over his book Herrinneringen uit Die Tijdperken. The interview in Sang Patriot is therefore out of context.
Komentar
Posting Komentar