OPINI: Tujuh Dekade Diplomasi Tiongkok
Perang dagang antara Amerika (AS) dengan Tiongkok (RRT) merupakan momok terbesar di kawasan saat ini. Bagaimana RRT, yang selama ini dipandang cenderung reaktif terhadap AS, akan merespon situasi tersebut? Ada baiknya kita menilik perjalanan diplomasi Tiongkok modern selama ini.
Pres. Donald Trump dan Melania Trump serta Pres. Xi Jinping dan Peng Liyuan di Istana Terlarang, Beijing, 8 November 2018 |
Di awal berdirinya RRT, kebijakan luar negeri RRT terfokus pada kebijakan “bersandar ke satu sisi” (Kubu Sosialis, utamanya, dan Kubu Dunia Ketiga)” dan di saat yang bersamaan juga menyambut baik Gerakan Non-Blok KTT Bandung. Diplomasi RRT mengalami kemunduran drastis dan bahkan menutup diri di puncak Revolusi Budaya di sekitar 1960an.
Perubahan tatanan dunia di awal 1970 mendorong RRT untuk menjalankan diplomasi segitiga dengan Amerika dan Uni Soviet. Setelah wafatnya Mao dan usainya kemelut revolusi di akhir 1970an, akhirnya diplomasi RRT mendapat postur baru setelah diterapkannya Kebijakan Reformasi dan Pintu Terbuka.
Deng menjadi arsitek kebijakan luar negeri RRT sejak 1978 dan berteguh pada prinsip Tāo Guāng Yǎng Huì, di mana RRT tidak menonjolkan diri, membatasi keterlibatan dalam politik internasional dan berkonsentrasi pada pembangunan ekonomi domestik.
Trauma huru hara politik dan urgensi menghapus kemiskinan meluas telah mendorong Deng (dan pemerintah RRT selanjutnya) untuk berkonsentrasi pada pertumbuhan ekonomi. Di tahun 1982, RRT mengamandemen Konstitusinya dengan mengambil inspirasi Dasa Sila Bandung dan mengadopsi pendekatan perdamaian dan persahabatan dalam kebijakan luar negerinya.
Diplomasi Generasi Ke-Lima
Kepemimpinan generasi ke-lima di bawah Presiden Xi Jinping telah membawa diplomasi RRT ke babak baru dengan diumumkannya cikal bakal mega proyek Insiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative atau BRI) di Astana (Kazakhstan) dan Jakarta tahun 2013.
Narasi prinsip TGYH kini disertai dengan narasi Fèn Fā Yǒu Wéi yang berarti “Giat Bekerja Mencapai Prestasi”. Postur kebijakan luar negeri RRT kini lebih berorientasi keluar dan lebih asertif dalam menyuarakan aspirasinya ketimbang menghindar ketika konflik menghadang.
Ada sejumlah faktor disebut banyak pihak berbeda sebagai pendorong BRI: (1) Menguatnya rasa percaya diri karena kemajuan riil di berbagai bidang; (2) Mengelola ekses kapasitas produksi; (3) Mengkonsolidasi posisi strategis di kawasan di saat “melemahnya” AS; (4) Merombak tata kelola tatanan global yang selama ini didominasi mekanisme “Barat” dan menyediakan alternatif baru “dengan karakteristik Tiongkok”.
Namun pada esensinya, faktor yang paling logis di balik BRI adalah kepentingan partai penguasa untuk menciptakan lingkungan eksternal yang kondusif bagi keberlanjutan laju ekonomi RRT. Prestasi RRT sepanjang tujuh dasawarsa sangatlah impresif (lihat tabel), namun tantangan yang harus dihadapi negara berpenduduk 1,4 miliar ini pun terus tumbuh dan semakin kompleks – mulai dari sistem politik dan kebebasan pers, isu keberagaman etnis dan agama, gerakan anti korupsi, mengingkatnya jumlah konflik sosial dan masih banyak lagi.
Hal itulah yang membuat RRT tidak terlalu berselera untuk beradu tanduk dengan AS. Tapi, di saat yang bersamaan, tuntutan sejumlah elit politik dan intelektual di RRT agar tidak diam saja jika terus dikonfrontasi oleh pihak eksternal juga semakin lantang. Menyeimbangkan sikap “merendah” (TGYH) dan sikap asertif (FFYW) bukanlah perkara mudah.
Refleksi Hubungan RI – RRT
“Lingkungan eksternal yang kondusif” idealnya hanya bisa dicapai jika RRT serius dengan konsep “win-win”. Indonesia adalah mitra terpenting bagi RRT di kawasan, paling tidak, di Asia Tenggara. Namun sejujurnya, Indonesia bukan mitra paling ramah dan mudah bagi RRT.
Kereta Api Cepat Jakarta Bandung adalah salah satu contoh, di mana lebih banyak politisasi isu ketimbang dialog sehat dan bijak terkait visi modernisasi infrastruktur Indonesia dan potensi pengembangan sumber daya manusia di sektor high-tech.
Diplomasi RRT sendiri pun terkesan “malu-malu” di Indonesia. Dapat dipahami jika RRT enggan dicap mencampuri urusan dalam negeri. Tapi, misalnya, dalam kasus munculnya pemberitaan bahwa pelajar Indonesia di RRT “dipaksa mempelajari ajaran Komunisme”, perwakilan RRT di Indonesia seharusnya ikut meluruskan informasi (memberikan pernyataan pers atau memfasilitasi beberapa dosen asal RRT untuk menjelaskan situasi riil di kampus).
Hubungan bilateral masih terkendala oleh rasa saling tidak percaya yang cukup tinggi dan lemahnya kapasitas sumber daya manusia Indonesia. Tak perlu heran. Inilah dampak tiga dekade kebijakan asimilasi Orde Baru (pelarangan materi cetak dan praktek bahasa Mandarin, sekolah dan asosiasi Tionghoa, dll) serta pembekuan hubungan diplomatik.
Politik identitas dan SARA yang dikompori pertarungan elit politik yang berebut kekuasaan, serta larisnya hoaks tentang RRT ikut memperburuk keadaan. Belum lagi adanya tekanan yang memaksa negara-negara di kawasan untuk memilih – pro AS atau RRT?
Hal tersebut tidak bisa terus dibiarkan menghambat upaya Indonesia untuk menuai manfaat dari kemitraan strategis komprehensif dengan RRT. Indonesia sudah jauh tertinggal dari Malaysia, Vietnam dan bahkan Kamboja.
Kita tidak perlu berpihak, tapi kita perlu bijak dalam mengawal interaksi Indonesia dalam BRI ini secara kritis. Melalui dialog sehat yang tidak hanya melibatkan kelompok elit, pihak RRT pun diharapkan bersedia mendengarkan dan mencari solusi yang benar win-win.
(https://www.suaramerdeka.com/news/baca/201328/tujuh-dekade-diplomasi-tiongkok)
Komentar
Posting Komentar