BenarNews: Napak Tilas Jejak Tionghoa Di Batavia
PECINAN GLODOK - JAKARTA | Mendung menggelayut di langit Kota Tua Jakarta, Sabtu pagi, 28 Januari 2017. Namun cuaca tak bersahabat tidak menyurutkan langkah 300-an orang mendatangi Museum Mandiri, satu dari sekian banyak bangunan bersejarah di kawasan itu.
Hampir semuanya berpakaian merah mulai dari anak-anak, remaja, bahkan orang lanjut usia. Mereka menuju meja kasir pualam di lantai dua museum untuk registrasi ulang. Sebelumnya mereka telah mendaftar secara online.
Mereka adalah peserta Chinatown Journey, acara tahunan yang digelar Komunitas Historia Indonesia untuk mempelajari pengaruh akulturasi budaya Tionghoa di Indonesia.
Tahun ini, acara digelar bertepatan dengan perayaan Hari Raya Imlek, menandai dimulainya Tahun Baru Cina.
Pesertanya berasal dari berbagai suku, agama dan profesi. Mereka berbaur bersama warga etnis Tionghoa yang sedang merayakan Tahun Baru Imlek.
Rute dimulai dari Museum Mandiri, yang dulu adalah kantor pusat perdagangan Belanda di zaman penjajahan kolonial, awal 1900-an, saat Jakarta masih dikenal dengan nama Batavia.
Sebelum tur dimulai, Presiden Komunitas Historia Indonesia, Asep Kambali, mengingatkan peserta tentang pentingnya mempelajari budaya Tionghoa.
“Budaya Betawi adalah perpaduan budaya Arab dan Tionghoa,” ujar Asep.
Betawi dikenal sebagai suku asli Jakarta.
“Coba lihat, hiasan pengantin Betawi dari kepala hingga kaki dipengaruhi budaya Tionghoa. Ondel-ondel juga terpengaruh budaya Tionghoa. Makanan Betawi juga ada budaya Tionghoa-nya. Jadi kalau ada orang Betawi yang membenci Tionghoa, maka dia tidak belajar sejarah,” tegas Asep.
Menyusuri sejarah
Usai sambutan, peserta -- yang dibagi jadi lima kelompok dan didampingi pemandu wisata -- menyusuri bangunan-bangunan bersejarah, terutama di kawasan yang banyak warga keturunan Tionghoa, seperti Patekoan Straat, Rumah Keluarga Souw (Souw Huis), Gereja Santa Maria de Fatima, Petak Sembilan, dan tentunya Pusat Kuliner Gloria.
Di Patekoan Straat, yang sudah berganti nama jadi Jalan Perniagaan, peserta diajak untuk mengetahui sejarah rumah Souw, keluarga terkaya di Batavia pada abad ke-17.
Atap cekung berbentuk ekor burung walet, rumah di samping Pusat Grosir Perniagaan itu menandakan status sosial yang tinggi sang pemilik rumah pada zamannya. Rumah tersebut sudah ditetapkan sebagai cagar budaya nasional.
Asep menjelaskan warga etnis Tionghoa, Arab dan India adalah masyarakat kelas dua, sebagai pedagang. Orang Eropa yang menjalankan pemerintahan adalah masyarakat kelas satu, sementara kaum pribumi sebagai masyarakat kelas tiga yang sebagian besar, petani dan buruh.
Pakar sejarah Alwi Shahab mengatakan peran warga Tionghoa berlangsung sejak migrasi ke Batavia untuk berniaga. Ketika Belanda berkuasa, mereka dilibatkan dalam pembangunan Batavia.
“Perdagangan dikuasai orang-orang Tionghoa. Jadi peran mereka sangat besar dan dianggap banyak mempelopori pembangunan Batavia,” ujarnya kepada BeritaBenar, Senin, 30 Januari 2017.
Alwi menambahkan, Belanda menerapkan politik pecah belah antara Tionghoa dan pribumi karena warga etnis Tionghoa dianggap sebagai ancaman bila menguasai perpolitikan.
Bukti akulturasi budaya Tionghoa juga tercermin pada Gereja Santa Maria de Fatima, bekas rumah bergaya Fukien atau Tiongkok Selatan. Rumah ini dibeli dari seorang tokoh Cina oleh para misionaris Katolik dari Eropa untuk dijadikan gereja.
Perjalanan berlanjut ke Wihara (kelenteng) Dharma Bhakti di Petak Sembilan, yang merupakan salah satu wihara tertua di Jakarta.
Sayangnya Maret 2015 lalu, kebakaran menghanguskan sebagian besar wihara ini. Meskipun sudah hangus, kayu-kayu penyangga wihara masih tetap dipertahankan dan tertata baik.
Menanti angpao
Masyarakat keturunan Tionghoa pun bergantian beribadah di wihara ini, memohon kebaikan di tahun baru. Menjelang tengah hari, ratusan kaum miskin mengantri di depan wihara untuk menanti pembagian angpao, hadiah tahun baru bagi yang berhak. Biasanya angpao berisi sejumlah uang.
Namun, salah seorang peserta napak tilas justru mengaku miris melihat kondisi itu.
“Banyak pengemis meminta di kelenteng dan orang keturunan Tionghoa memberi angpao dengan baik hati. Namun sebagian kita masih menyebar sentimen anti-Cina,” ujar Maggie Nuansa kepada BeritaBenar.
Asep menambahkan sentimen tersebut seakan tetap hidup meski pemerintahan berganti.
“Di zaman Soeharto, identitas mereka sebagai orang keturunan Tionghoa dicabut. Nama mereka diubah menjadi nama Jawa, nama makanan pun diubah. Perayaan Imlek dilarang. Yang mengerikan ketika mereka dituduh sebagai komunis,” ujar Asep.
Pakar politik CSIS, Christine Susanna Tjhin, menambahkan pada masa Orde Baru ada upaya sistematis menyebarkan diskriminasi bagi etnis Tionghoa, terutama untuk bisa masuk dalam institusi negara.
Menurut Asep, sentimen anti-Cina terus dipelihara sampai akhirnya larangan merayakan Imlek dicabut pada masa pemerintahan Gus Dur (Abdurrahman Wahid).
“Saya salut dengan beliau,” tuturnya.
“Acara seperti ini digelar untuk membangkitkan kesadaran bahwa budaya Tionghoa adalah bagian dari budaya Indonesia dan sekaligus menghilangkan stigma negatif.”
Bagi Maggie, ikut napak tilas jejak Tionghoa di Batavia telah membuka matanya dan tentu sebagian besar peserta lain tentang sejarah.
“Dari sejarahnya, kita tahu upaya memusuhi kaum Tionghoa sudah ada sejak masa Belanda. Jadi kalau kita masih memusuhi mereka, berarti dibodohi Belanda,” ujarnya.**
Hampir semuanya berpakaian merah mulai dari anak-anak, remaja, bahkan orang lanjut usia. Mereka menuju meja kasir pualam di lantai dua museum untuk registrasi ulang. Sebelumnya mereka telah mendaftar secara online.
Mereka adalah peserta Chinatown Journey, acara tahunan yang digelar Komunitas Historia Indonesia untuk mempelajari pengaruh akulturasi budaya Tionghoa di Indonesia.
Tahun ini, acara digelar bertepatan dengan perayaan Hari Raya Imlek, menandai dimulainya Tahun Baru Cina.
Pesertanya berasal dari berbagai suku, agama dan profesi. Mereka berbaur bersama warga etnis Tionghoa yang sedang merayakan Tahun Baru Imlek.
Rute dimulai dari Museum Mandiri, yang dulu adalah kantor pusat perdagangan Belanda di zaman penjajahan kolonial, awal 1900-an, saat Jakarta masih dikenal dengan nama Batavia.
Sebelum tur dimulai, Presiden Komunitas Historia Indonesia, Asep Kambali, mengingatkan peserta tentang pentingnya mempelajari budaya Tionghoa.
“Budaya Betawi adalah perpaduan budaya Arab dan Tionghoa,” ujar Asep.
Betawi dikenal sebagai suku asli Jakarta.
“Coba lihat, hiasan pengantin Betawi dari kepala hingga kaki dipengaruhi budaya Tionghoa. Ondel-ondel juga terpengaruh budaya Tionghoa. Makanan Betawi juga ada budaya Tionghoa-nya. Jadi kalau ada orang Betawi yang membenci Tionghoa, maka dia tidak belajar sejarah,” tegas Asep.
Menyusuri sejarah
Usai sambutan, peserta -- yang dibagi jadi lima kelompok dan didampingi pemandu wisata -- menyusuri bangunan-bangunan bersejarah, terutama di kawasan yang banyak warga keturunan Tionghoa, seperti Patekoan Straat, Rumah Keluarga Souw (Souw Huis), Gereja Santa Maria de Fatima, Petak Sembilan, dan tentunya Pusat Kuliner Gloria.
Di Patekoan Straat, yang sudah berganti nama jadi Jalan Perniagaan, peserta diajak untuk mengetahui sejarah rumah Souw, keluarga terkaya di Batavia pada abad ke-17.
Atap cekung berbentuk ekor burung walet, rumah di samping Pusat Grosir Perniagaan itu menandakan status sosial yang tinggi sang pemilik rumah pada zamannya. Rumah tersebut sudah ditetapkan sebagai cagar budaya nasional.
Asep menjelaskan warga etnis Tionghoa, Arab dan India adalah masyarakat kelas dua, sebagai pedagang. Orang Eropa yang menjalankan pemerintahan adalah masyarakat kelas satu, sementara kaum pribumi sebagai masyarakat kelas tiga yang sebagian besar, petani dan buruh.
Pakar sejarah Alwi Shahab mengatakan peran warga Tionghoa berlangsung sejak migrasi ke Batavia untuk berniaga. Ketika Belanda berkuasa, mereka dilibatkan dalam pembangunan Batavia.
“Perdagangan dikuasai orang-orang Tionghoa. Jadi peran mereka sangat besar dan dianggap banyak mempelopori pembangunan Batavia,” ujarnya kepada BeritaBenar, Senin, 30 Januari 2017.
Alwi menambahkan, Belanda menerapkan politik pecah belah antara Tionghoa dan pribumi karena warga etnis Tionghoa dianggap sebagai ancaman bila menguasai perpolitikan.
Bukti akulturasi budaya Tionghoa juga tercermin pada Gereja Santa Maria de Fatima, bekas rumah bergaya Fukien atau Tiongkok Selatan. Rumah ini dibeli dari seorang tokoh Cina oleh para misionaris Katolik dari Eropa untuk dijadikan gereja.
Perjalanan berlanjut ke Wihara (kelenteng) Dharma Bhakti di Petak Sembilan, yang merupakan salah satu wihara tertua di Jakarta.
Sayangnya Maret 2015 lalu, kebakaran menghanguskan sebagian besar wihara ini. Meskipun sudah hangus, kayu-kayu penyangga wihara masih tetap dipertahankan dan tertata baik.
Menanti angpao
Masyarakat keturunan Tionghoa pun bergantian beribadah di wihara ini, memohon kebaikan di tahun baru. Menjelang tengah hari, ratusan kaum miskin mengantri di depan wihara untuk menanti pembagian angpao, hadiah tahun baru bagi yang berhak. Biasanya angpao berisi sejumlah uang.
Namun, salah seorang peserta napak tilas justru mengaku miris melihat kondisi itu.
“Banyak pengemis meminta di kelenteng dan orang keturunan Tionghoa memberi angpao dengan baik hati. Namun sebagian kita masih menyebar sentimen anti-Cina,” ujar Maggie Nuansa kepada BeritaBenar.
Asep menambahkan sentimen tersebut seakan tetap hidup meski pemerintahan berganti.
“Di zaman Soeharto, identitas mereka sebagai orang keturunan Tionghoa dicabut. Nama mereka diubah menjadi nama Jawa, nama makanan pun diubah. Perayaan Imlek dilarang. Yang mengerikan ketika mereka dituduh sebagai komunis,” ujar Asep.
Pakar politik CSIS, Christine Susanna Tjhin, menambahkan pada masa Orde Baru ada upaya sistematis menyebarkan diskriminasi bagi etnis Tionghoa, terutama untuk bisa masuk dalam institusi negara.
“(Sehingga) terkikis pemahaman masyarakat terhadap peran Tionghoa yang sebenarnya. Tionghoa dikategorikan sebagai sesuatu yang dianggap sebagai problematis dalam proses kebangsaan,” katanya kepada BeritaBenar.
Menurut Asep, sentimen anti-Cina terus dipelihara sampai akhirnya larangan merayakan Imlek dicabut pada masa pemerintahan Gus Dur (Abdurrahman Wahid).
“Saya salut dengan beliau,” tuturnya.
“Acara seperti ini digelar untuk membangkitkan kesadaran bahwa budaya Tionghoa adalah bagian dari budaya Indonesia dan sekaligus menghilangkan stigma negatif.”
Bagi Maggie, ikut napak tilas jejak Tionghoa di Batavia telah membuka matanya dan tentu sebagian besar peserta lain tentang sejarah.
“Dari sejarahnya, kita tahu upaya memusuhi kaum Tionghoa sudah ada sejak masa Belanda. Jadi kalau kita masih memusuhi mereka, berarti dibodohi Belanda,” ujarnya.**
Komentar
Posting Komentar